Oleh: Achmad
Nosi Utama
PENDAHULUAN
Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, mengatur bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
negara hukum. Sebagai hukum tertinggi dalam tata urutan perundang-undangan di
Indonesia, berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Perundang-undangan, maka sudah seharusnya segala peraturan hukum di Negara
Indonesia tidak boleh bertentangan dengan hal-hal yang di atur dalam
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Atas dasar, telah
ditentukannya bahwa Negara Indonesia merupakan negara hukum, akan membawa
konsekuensi bagi kehidupan yang ada di Negara Indonesia.
Konsekuensi ini berkaitan dengan pengertian dari kata
“hukum”, dikaitkan dengan dengan banyaknya suku, agama, kepercayan, dan
lain sebagainya yang ada di Negara Indonesia, yang dimana para penganutnya
memiliki hukum tersendiri atas kelompok masyarakatnya. Maka, arti Negara
Indonesia adalah negara hukum, akan sangat luas maknanya jika memaknai arti
“hukum” dalam situasi keberagaman masyarakat yang ada di Negara
Indonesia.
Dalam ilmu filsafat, terdapat ilmu yang dinamakan
dengan filsafat hukum. Dimana objek studi dari ilmu filsafat tersebut adalah
hukum. Pengertian filsafat adalah suatu pendasaran diri dan perenungan diri
secara radikal. Ia merefleksi terutama tentang segala hal yang ada, tentang
“hal ada” dalam keumumannya. Filsafat dimulai dengan mempertanyakan segala hal
“Mengapa semuanya itu sebagaimana adanya dan tidak lain ?”. Jadi filsafat
adalah merefleksikan, suatu kegiatan berfikir dan juga sifat rasional.[1]
Kemudian, Filsafat hukum itu ingin mendalami “hakikat”
dari hukum, dan itu berarti bahwa ia ingin memahami hukum sebagai penampilan
atau manifestasi dari suatu asas yang melandasinya.[2]
Jadi, secara sederhana dapat dipahami bahwa filsafat hukum artinya adalah ilmu
yang bertujuan untuk mencari hakikat hukum. Dalam memaknai arti kata “hukum”
dalam situasi keberagaman masyarakat di Negara Indonesia, akan ditemukan banyak
penafsiran yang berbeda antar masyarakat satu dan lainnya. Hal ini sejalan
dengan yang diungkapkan oleh Van Apeldorn, yang menyatakan bahwa :
“Dalam masyarakat akan ditemukan kelompok orang, yaitu
mereka yang disebut “ontwikkelde leek” dan “the man on the street”.
Ontwikkelde leek adalah mereka yang percaya bahwa hukum hanya ada dalam
Undang-undang, sedangkan The man on the street melihat hukum mewujud
dalam diri polisi, hakim, pengacara, dan lain-lain”.[3]
Menurut Dr. Anthony F. Susanto, S.H., M.Hum.
Pernyataan dari Van Apeldorn tersebut bersangkut paut dengan problem presepsi.
Mungkin saja, satu komunitas akan melihat bahwa apa yang dipahaminya lebih
benar dari apa yang dipahami orang lain. Misalnya, Ontwikkelde leek akan
memandang bahwa hukum hanyalah sekumpulan aturan yang disahkan oleh pejabat
tertentu yang dilaksanakan melalui aparatnya. sedangkan bagi The man on the
street memandang bahwa hukum bukanlah yang sebagaimana dijelaskan oleh Ontwikkelde
leek.[4]
Kemudian seorang pakar kriminologi dan viktimologi dari Fakultas Hukum Undip,
Semarang, bernama I.S. Susanto menyatakan bahwa “makna hukum akan sangat
ditentukan oleh presepsi orang mengenai apa yang disebut hukum itu”.[5]
Berdasar pada beberapa pendapat sarjana di atas. Maka
menurut hemat saya, makna dari kata “hukum” dalam pernyataan bahwa Negara
Republik Indonesia adalah negara hukum, adalah makna yang sangat mendalam, yang
artinya bahwa makna dari kata “hukum” tersebut tidak dapat dimaknai secara
tunggal dan dipaksakan kepada setiap orang untuk memaknai bahwa makna “hukum”
adalah satu makna. Artinya, hukum itu sangat relatif, tergantung bagaimana
setiap orang memaknainya, berdasar pada keadaan yang telah terkonstruksi di
dalam diri orang tersebut. Sehingga, dalam keadaan multipenafsiran tentang
makna dari “hukum”, yang beragam. Melalui kajian paradigmatik dalam ilmu
filsafat hukum, akan dapat dijelaskan tentang bagaimanakah hakikat dari hukum.
Dengan kajian paradigmatik, penulis akan membahas
mengenai penyelesaian suatu kasus yang terjadi di Negara Indonesia, bila dikaji
menggunakan salah satu paradigma utama yang dicetuskan oleh Guba dan Lincoln,
yaitu paradigma konstruktivisme dengan dibandingkan dengan paradigma utama
lainnya, yaitu paradigma positivisme. Dengan dasar bahwa Negara Republik
Indonesia adalah negara hukum, dengan segala keberagaman yang ada di Negara
Indonesia yang berimplikasi terhadap multipenafsiran tentang makna sesungguhnya
dari “hukum”, serta perkembangan jaman yang terus berlangsung.
RUMUSAN MASALAH
1. Apakah yang dimaksud paradigma
konstruktivisme ?
2. Bagaimanakah cara penyelesaian suatu kasus
hukum dengan menggunakan paradigma konstruktivisme jika dibandingkan dengan
paradigma positivisme ?
PEMBAHASAN
1. PARADIGMA
KONSTRUKTIVISME
Dalam memahami tentang apakah yang dimaksud dengan
paradigma konstruktivisme dan bagaimana cara berfikir dan bertindak dari
penganut paradigma tersebut, harus terlebih dahulu mengetahui tentang apa yang
dimaksud dengan paradigma. Jika diurutkan secara hierarki, maka akan diketahui
mengenai letak dari paradigma, jika dibandingkan dengan konsep, teori ataupun
aliran. Di dalam hierarki tersebut, diurutan terbawah adalah “konsep”.
Konsep ini terdapat berbagai blok-blok konsep yang kemudian bergabung menjadi
satu, sehingga muncul yang dinamakan “teori”. Kemudian berbagai macam teori
tersebut, dikelompokkan masing-masing sesuai cirinya, menjadi yang dinamakan
“aliran”. Selanjutnya, setiap aliran akan dilihat cirinya sehingga dapat dikategorikan
sebagai suatu aliran yang dipandu oleh paradigma tertentu[6].
Contohnya, aliran Legal Constructivisme yang merupakan aliran yang masuk dalam
paradigma konstruktivisme. Dari pemaparan tersebut, dapat dipahami bahwa letak
dari “paradigma”, ada di paling atas dalam hierarki bila dibandingkan dengan
konsep, teori,dan aliran.
Untuk memperluas pemahaman dalam memahami pengertian
paradigma, ada beberapa pendapat sarjana yang memberi pengertian tentang apa
yang dimaksud dengan paradigma. Dalam pengertian sederhana, Menurut Kuhn (tahun
1962), paradigma adalah model, percontohan, representatif, tipikal,
karakteristik atau ilustrasi dari solusi permasalahan atau pencapaian dalam
suatu bidang ilmu pengetahuan.[7]
Kemudian menurut Denzin dan Lincoln (tahun 1994),
paradigma dipahami sebagai suatu sistem filosofis utama, induk, atau ‘payung’
yang meliputi ontologi, epistemologi, dan metodologi tertentu yang tidak dapat
begitu saja dipertukarkan (dengan ontologi, epistemologi, dan metodologi dari
paradigma lainnya). Paradigma merepresentasikan suatu belief dasar
tertentu yang menyodorkan cara bagaimana dunia dilihat, dipahami, dimengerti
dan dipelajari; dengan kata lain penganut/pemakainya pada world view
tertentu.[8]
Di dalam Filsafat Hukum dikenal 4 (empat) paradigma
utama, yaitu positivisme, postpositivisme, critical theori et al, dan
konstruktivisme. Dalam makalah ini, akan membahas mengenai penyelesaian kasus
hukum, dengan menggunakan paradigma konstruktivisme dan dibandingkan dengan
menggunakan paradigma positivisme.
Paradigma konstruktivisme ialah paradigma dimana
kebenaran suatu realitas sosial dilihat sebagai hasil konstruksi sosial, dan
kebenaran suatu realitas sosial bersifat relatif. Paradigma konstruktivisme ini
berada dalam perspektif interpretivisme (penafsiran) yang terbagi dalam tiga
jenis, yaitu interaksi simbolik, fenomenologis dan hermeneutik. Paradigma
konstruktivisme merupakan kritik terhadap paradigma positivis. Menurut
paradigma konstruktivisme realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak
dapat digeneralisasikan pada semua orang, seperti yang biasa dilakukan oleh
penganut paradigma positivisme. Konsep mengenai konstruksionis diperkenalkan
oleh sosiolog interpretative, Peter L.Berger bersama Thomas Luckman[9].
Ide mengenai konstruktivisme telah muncul sejak abad ke-5 sebelum masehi
baik di Timur, oleh Budha Gautama (560–477 SM), maupun di Barat oleh Heraklitus
(535-474 SM). Sejak itu, pandangan konstruktivisme tidak banyak berkembang
hingga dituliskan ulang oleh Giambattista Vico (1668–1774) pada abad ke-17.
Immanuel Kant (1724-1804) dipandang banyak ahli sebagai peletak ide utama
mengenai konstruktivisme. Kant dalam Critique of Pure Reason menjelaskan
pikiran (mind) sebagai organisme yang tidak henti-hentinya
mentransformasikan ketidakaturan (chaos) menjadi keteraturan (order).
Kant membedakan proses penyerapan informasi oleh indera (sensasi) dengan
pemaknaan personal informasi tersebut oleh individu (persepsi). Karenanya,
berbagai informasi yang diperoleh individu dari luar bisa saja ditangkap oleh
indera yang sama, namun diorganisir dan dimaknai berbeda-beda oleh tiap
individu, tergantung pengetahuan dan pengalaman sebelumnya.
Dalam paradigma konstruktivisme, terdapat ontologi,
epistemologi, dan metodologi. Ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang
hakikat. Artinya di dalam ontologi, akan terdapat ciri-ciri bagaimana penganut
suatu paradigma, berfikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari.
Epistemologi adalah mempelajari tentang subyek yang dipandu paradigma tertentu.
Metodologi adalah bagaimana cara dari subyek yang dipandu paradigma tertentu
memahamkan “ontologi”nya.
Dalam paradigma konstruktivisme, cara berfikir dan
bertindak dari orang yang dipandu oleh paradigma ini, akan memiliki ciri-ciri
sesuai dengan ontologi dalam paradigma ini. Ontologi dalam paradigma
konstruktivisme memiliki basic belief “Relativisme”. Relativisme ini
artinya adalah orang yang dipandu oleh paradigma konstruktivisme akan melihat
bahwa segala sesuatu itu majemuk, tidaklah tunggal. Sehingga, orang ini akan
memandang bahwa segala sesuatu bebas diinterpretasikan oleh siapapun.
Kemudian dalam ontologi paradigma konstruktivisme,
terdapat world view. World view artinya adalah cara pandang
penganut suatu paradigma, dalam melihat dunia. Di dalam ontologi paradigma
konstruktivisme, terdapat world view :
1) Realitas majemuk dan beragam, berdasarkan
pengalaman sosial individual, lokal, dan spesifik. Artinya adalah para penganut
paradigma konstruktivisme akan memandang, bahwa hukum itu tidak tunggal,
melainkan majemuk. Kemajemukan itu didasarkan pada pengalaman sosial
individual,lokal, dan spesifik seseorang. Sehingga, setiap orang dapat
menginterpretasikan mengenai ‘bagaimanakah’ hukum, sesuai dengan
subjektifitasnya.
2) Merupakan ‘konstruksi’ mental/intelektualitas
manusia. Artinya adalah, bahwa hukum yang diyakini oleh penganut paradigma
konstruktivisme, adalah berdasarkan pada hal hal yang terkonstruksi di dalam
dirinya, sehingga munculah pemahaman dalam dirinya, tentang ‘bagaimana’ hukum
yang sesungguhnya.
3) Bentuk dan isi berpulang pada penganut/pemegang
dapat berubah menjadi informed dan atau sophisticated ; humanis.
Artinya adalah, informasi yang didapat oleh penganut/pemegang paradigma ini,
kemudian akan dicanggihkan (dipelajari dan dipahamkan) dalam dirinya, sehingga
munculah pemahaman tentang hukum yang sesungguhnya.
Penganut paradigma konstruktivisme, akan mendekatkan
presepsi. Bukan menyatukan presepsi. Dikarenakan, beragam presepsi tentang
segala hal, menurut setiap orang belum tentu sama. Bagi penganut paradigma
konstruktivisme, semesta merupakan suatu konstruksi, artinya bahwa semesta
bukan dimengerti sebagai semesta yang otonom, akan tetapi dikonstruksi secara
sosial (Ardianto, 2009).
2. PERBANDINGAN
PENYELESAIAN KASUS HUKUM DENGAN MENGGUNAKAN PARADIGMA KONSTRUKTIVISME DENGAN
PARADIGMA POSITIVISME
Dalam 4 (empat) paradigma utama yang sudah penulis
jelaskan diatas, yaitu paradigma positivisme, postpositivisme, critical theory
et al, dan konstruktivisme. Ketika penganut dari masing-masing paradigma
tersebut, menangani suatu kasus hukum, maka akan berbeda antara satu penganut
paradigma, dengan penganut paradigma lainnya. Hal tersebut dikarenakan
perbedaan ontologi, epistemologi, dan metodologi, antara satu paradigma dengan
paradigma lainnya. Di dalam makalah ini, akan dijelaskan mengenai suatu kasus
hukum, yang terjadi di tahun 2014, jika ditinjau dengan paradigma
konstruktuvisme dengan dibandingkan dengan paradigma positivisme.
Kasus ini dikutip dari situs : http://merdeka.com,
yang diposting pada 31 Desember 2014. Berikut kasus posisinya:
Polisi Militer TNI Angkatan Udara menangkap pencuri
kabel listrik milik Angkasa Pura di Sukadamai Talang Betutu Palembang. Keempat
tersangka pelaku yang diamankan tersebut berinisial J, S, DJ, dan AN tercatat
sebagai warga Kota Palembang.
"Empat tersangka pelaku pencurian kabel kami
tangkap pada Selasa (30/12)," kata Komandan Satuan Polisi Militer (POM)
TNI AU Kapten POM Andi Muhtar saat menggelar tersangka dan barang bukti di
Palembang, seperti dilansir Antara, Rabu (31/12).
Andi Muhtar memaparkan, penangkapan keempat tersangka
ini berawal dari laporan warga Talang Betutu, Abidian kepada Angkasa Pura pada
Selasa pagi perihal kabel listrik yang jatuh menimpa rumah warga.
"Laporan tersebut kemudian dicek pihak Angkasa
Pura ke lokasi, dan teknisi listrik menemukan para pelaku tengah beraksi
memotong kabel," ungkap dia.
Teknisi listrik Angkasa pura yang bernama Rusli
kemudian bersama Polisi Militer TNI AU Talang Betutu Palembang meringkus
keempat tersangka dan membawanya ke kantor di Kompleks TNI AU.
Para tersangka yang berumur antara 20-25 tahun ini
dikoordinir oleh J yang merupakan suruhan seseorang bernama 'Kuyung' (panggilan
kakak dalam bahasa daerah Sekayu Musi Banyuasin).
Sementara, tersangka J mengaku Kuyung membekali mereka
dengan surat tugas sebagai petugas PLN untuk memudahkan pekerjaan mereka.
"Waktu Polisi Militer TNI AU mengecek surat tugas
kami, mereka nyatakan itu palsu," ungkap warga Sako Kenten ini.
Cara memotong dan celah melakukan aksi kejahatan
mereka pun dibimbing oleh Kuyung.
"Dia bilang kabelnya sudah putus tinggal kami
potong aja," katanya menirukan pernyataan Kuyung.
Usai ditahan selama sehari oleh Polisi Militer TNI AU
, keempat tersangka kemudian diserahkan ke Polsekta setempat untuk penyidikan
dan proses hukum lebih lanjut.
Analisisnya:
Ketika melihat kasus diatas, dalam hukum yang berlaku
di Indonesia, dapat dinyatakan bahwa kasus di atas merupakan tindak pidana.
Hukum pidana di Indonesia, berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jika
kasus diatas dianalisis dengan menggunakan dengan paradigma positivisme, maka
jelas bahwa kasus tersebut akan diselesaikan dengan peraturan tertulis, yang
dalam hal ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam Kitab
Undang Undang Hukum Pidana, kasus diatas dapat dikenakan pasal 362 , tentang
pencurian. Dengan bunyi pasal, sebagai berikut :
“Barangsiapa
mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain,
dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian,
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam
puluh rupiah”.
Ketika kasus tersebut diselesaikan dengan panduan
paradigma positivisme, maka jika terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa
pelaku, dinyatakan bersalah dan harus bertanggung jawab atas tindak pidana yang
dilakukan, maka akan secara langsung akan diterapkan pasal 362 KUHP, terhadap
pelaku tindak pidana. Karena basic belief dari paradigma
positivisme adalah “realisme naif” yang artinya adalah menerapkan hukum
apa adanya, tidak peduli akan alasan apapun yang dimiliki oleh pelaku. Dengan
salah satu world viewnya adalah objektif. Artinya adalah hukum akan
diterepkan kepada setiap orang, tanpa peduli alasan apa yang melatarbelakangi
orang tersebut melakukan suatu perbuatan.
Salah satu tokoh yang menganut paradigma positivisme
adalah Hans Kelsen. Oleh banyak orang, Hans Kelsen kerap disebut sebut sebagai
salah satu eksponen dari positivisme hukum.[10]
Dalam bidang hukum, Hans Kelsen terkenal dengan teorinya yaitu teori hukum
murni, yaitu hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir non hukum. Dalam teori
ini, Hans Kelsen berusaha menawarkan sebuah jalan yang lain kepada ilmu hukum,
bagaimana ilmu ini harus benar benar dipisahkan dari nilai-nilai intuitif yang
justru mau dicarinya di rute-rute yang biasa dilaluinya.[11]
Artinya, bahwa hukum itu harus yang diterapkan terhadap suatu kasus haruslah
murni sesuai dengan peraturan yang ada, secara apa adanya.
Kelsen menyatakan bahwa kaidah kaidah hukum harus
dipisahkan (diisolir) secara setajam mungkin dari potensi potensi yang
membuatnya tidak murni (tidak ilmiah). Bagaimanapun, kaidah hukum itu
disingularisasi (dimurnikan, dibersihkan) oleh Teori Hukum dari involvasi
elemen-elemen yang berkarakter di luar dirinya, ketika itu pula kaidah-kaidah
itu telah terdeskripsikan secara ilmiah (objektif).[12]
Sehingga, yang dalam kasus diatas adalah tepat jika diterapkan pasal 362 KUHP
terhadap pelaku.
Berbeda dengan penyelesaian kasus hukum dengan menggunakan
paradigma positivisme. Para penganut paradigma konstruktivisme, akan lebih luas
memandang cara penyelesaian hukum, yang tidak terbatas dengan diterapkannya
suatu Undang undang (contohnya KUHP) secara apa adanya, seperti yang dilakukan
oleh penganut paradigma positivisme.
Jika, kasus diatas diselesaikan dengan menggunakan
paradigma konstruktivisme maka analisisnya adalah sebagai berikut:
Dalam paradigma kontruktivisme, penganutnya akan
memandang bahwa, tidak harus dengan diterapkan pasal 362 KUHP semata-mata untuk
menyelesaikan kasus tersebut. Melainkan dapat dengan menggunakan alternatif
penyelesaian hukum yang lain. Seperti penyelesaian dengan cara musyawarah
antara korban dan pelaku atau yang mewakili keduanya. Karena, dalam paradigma
konstruktivisme, penganutnya memandang bahwa hukum itu tidak tunggal (yang
dalam paradigma positivisme, dinilai bahwa hukum untuk menyelesaikan kasus
diatas, adalah dengan KUHP), melainkan majemuk (seperti yang telah dijelaskan
dalam pembahasan pertama makalah ini ).
Menurut hemat saya, hukum pada intinya adalah upaya
untuk memperoleh suatu keadilan. Keadilan berdasarkan konstruktivisme berati
adalah realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat
digeneralisasikan pada semua orang yang biasa dilakukan oleh orang yang dipandu
paradigma positivisme. Paradigma konstruktivisme yang ditelusuri dari pemikiran
Weber, menilai perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan perilaku
alam, karena manusia bertindak sebagai agen yang mengkonstruksi dalam realitas
sosial mereka, baik itu melalui pemberian makna ataupun pemahaman perilaku
dikalangan mereka sendiri.[13]
Dalam menyelesaikan suatu kasus hukum, penganut
paradigma akan mengutamakan musyawarah. Hal ini sesuai dengan world viewnya
yaitu “humanis” yang artinya penganut paradigma konstruktivisme akan
mendekatkan presepsi beberapa manusia, dalam dialektikal untuk memahami
kepentingan yang ada. Sehingga, jika kasus ini diselesaikan dengan menggunakan
paradigma konstruksivisme, maka pihak korban dan pihak pelaku akan melakukan
musyawarah, sehingga dapat ditentukan cara penyelesaian terbaik dari kasus
tersebut. Sebagi contoh, penerapan kerja sosial kepada pelaku sebagai
sanksi atas perbuatannya. Sanksi ini dimungkinkan, dalam kasus tersebut.
Sehingga dengan sanksi ini, akan memberikan pembelajaran bagi tidak hanya
kepada pelaku, tetapi juga kepada masyarakat. Dengan demikian perwujudan
kesejahteraan masyarakat dapat dicapai sejalan dengan kemanfaatan hukum itu
sendiri. Namun, apabila korban berpendapat bahwa penyelesaian terbaik adalah
dengan cara diterapkan pasal 362 KUHP, itu tidak disalahkan. Karena bagi korban,
itulah cara terbaik yang benar.
Kemudian, jika hakim yang berparadigma konstruktivisme, akan memutus kasus tersebut dengan unsur
subjektivitas hakim sangat tinggi. Hakim tidak hanya akan mendasarkan kasus
tersebut pada hukum normatif (KUHP) saja, tapi berusaha menggali nilai-nilai
yang ada di masyarakat untuk dijadikan pertimbangan dalam memutus perkara
tersebut. Kemudian, dikarenakan ciri dari penganut paradigma kontruktivisme
adalah mengutamakan musyawarah/dialek. Maka hakim akan memberi pertimbangan
yang lebih meringankan bagi pelaku, jikalau telah melakukan musyawarah dengan
pihak korban dan antara pihak korban dan pihak pelaku sudah berdamai.
Berbeda dengan hakim yang berparadigma positivisme. Hakim yang berparadigma positivisme akan menerapkan
hukuman seperti apa yang ada di dalam Undang undang (KUHP), dikarenakan ciri
dari paradigma positivisme yaitu dalam basic belief dalam ontologinya ,
yaitu realisme naif. Yang artinya adalah, menerapkan peraturan apa adanya. Di
dalam paradigma positivisme, Hart menyatakan bahwa, Hukum diartikan
sebagai :
- Hukum adalah perintah
- Analisis terhadap konsep-konsep hukum berbeda dengan studi sosiologis, historis, dan penilaian kritis.
- Keputusan-keputusan dideduksi secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dahulu, tanpa perlu merujuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijaksanaan, dan moralitas.
- Penghukuman secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian
- Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan.[14]
Dari penjelasan yang sudah penulis jelaskan, maka akan
dapat dipahami bahwa dalam penyelesaian suatu kasus hukum, terdapat perbedaan
yang sangat jelas, antara paradigma konstruktivisme dan paradigma positivisme.
Secara sederhana, dapat disimpulkan bahwa, paradigma konstruktivisme, jauh
lebih banyak alternatif dalam menyelesaikan kasus hukum (tidak hanya terbatas
pada peraturan tertulis), jika dibandingkan dengan paradigma positivisme, yang
hanya mendasarkan penyelesaian hukum melalui peraturan tertulis saja.
KESIMPULAN
Ketika memahami pasal 3 ayat (1) Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah negara hukum. Maka konsekuensi yang terjadi adalah,
banyaknya interpretasi tentang apa yang dimaknai sebagai “hukum”. Menurut hemat
saya, tidaklah mudah bahkan tidak mungkin, jika menyamakan presepsi bagi setiap
orang untuk menyatakan secara bersama bahwa hukum itu hanya satu macam. Hal ini
tidak terlepas dari sejarah panjang Negara Indonesia, sehingga munculah
berbagai presepsi masyarakat tentang bagaimanakah hukum yang sebenarnya.
Banyaknya suku, agama, kepercayan, dan lain sebagainya
yang ada di Negara Indonesia, yang dimana para penganutnya memiliki hukum
tersendiri atas kelompok masyarakatnya akan meyakini bahwa, hukum adalah apa
yang mereka yakini sebagai hukum.
Hal kemajemukan dalam memahami hukum, dapat dipelajari
melalui kajian paradigmatik dalam Filsafat Hukum. Dimana dalam paradigma di
Filsafat Hukum, dalam memahami hukum, tidaklah dapat dipaksakan kepada setiap
orang untuk mengakui bahwa hakikat hukum itu hanyalah tunggal. Karena,
setiap manusia memiliki latar belakang kehidupan yang belum tentu sama, antar
satu dan lainnya. Sehingga, masing-masing orang dapat meyakini tentang hakikat
hukum menurut pribadinya masing-masing. Seperti contohnya, paradigma
positivisme dan paradigma konstruktivisme. Kedua paradigma ini, memiliki ciri
yang berbeda dalam memaknai tentang bagaimanakah hukum yang sebenarnya (hakikat
hukum).
Pada paradigma postivistime, untuk mencapai tujuan
dari hukum, adalah dengan menerapkan kepastian hukum semata. Kepastian hukum
yang dimaksud adalah kepastian hukum sesuai dengan perundang-undangan
(tertulis) yang berlaku di suatu negara. Sedangkan paradigma konstruktivisme,
akan memandang bahwa hukum tidak semata mata hanya peraturan perundang-undangan
(tertulis) saja.
SARAN
Dalam penegakan hukum terhadap pelaku pelanggaran
hukum. Hendaknya, para penegak hukum dapat melihat secara keseluruhan fakta
tentang kejadian yang terjadi dan menggali nilai-nilai yang hidup di
masyarakat, untuk pertimbangan dalam membuat suatu keputusan untuk penyelesaian
kasus tersebut, sehingga keadilan dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
· Meuwissen, M, 2007, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Terjemahan : B. Arief Sidharta, Bandung : PT. Refita Aditama.
· Susanto, Anthon F, 2007, Hukum Dari Consilience Menuju Paradigma Hukum Konstruktif-Transgresif, Bandung : PT. Refika Aditama.
· Ardianto, Elvinaro dan Q-Anees, Bambang. 2009. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
· Eryanto, 2004, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Isi Media. Yogyakarta : LKIS
· Bakir, herman, 2005, Kastil Teori Hukum , Jakarta : PT Indeks Kelompok Gramedia.
· Raharjo, Satjipto II, 1985 Buku Materi Pokok Pengantar Ilmu Hukum Bagian IV, Jakarta: Karunika.
· Hand Out FILSAFAT HUKUM “LEBIH JAUH TENTANG PARADIGMA” oleh Prof. Erlyn Indarti
· Kitab Undang Undang Hukum Pidana, terjemahan prof. Moeljatni, S.H.
· http://dontfeedthewolves.blogspot.com
· http://umriwulan.blogspot.com
· http://law-indonesia.blogspot.com
· http://merdeka.com
[1]
Buku “Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan
Filsafat Hukum” diterjemahkan oleh Prof. Dr. B. Arief Sidharta, S.H. (PT.
Refita Aditama : Bandung ) Halaman 65.
[3]
Buku “Hukum Dari Consilience Menuju Paradigma Hukum Konstruktif-Transgresif”
karya Dr. Anthon F. Susanto, S.H., M.Hum. (PT. Refika Aditama : Bandung)
Halaman 12.
[6]
Disampaikan dosen pengampu mata kuliah filsafat hukum, adalam kuliah filsafat
hukum, di Universitas Diponegoro tahun 2014
[14]
Satjipto Raharjo II, Buku Materi Pokok Pengantar Ilmu Hukum Bagian IV,
Karunika, Jakarta, 1985, halaman 11
Terima kasih sudah berbagi ilmu melalui makalah ini.
BalasHapusIya kembali kasih, semoga bermanfaat.
HapusKISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
BalasHapusBERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.
Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....