PENYELESAIAN KASUS HUKUM BERDASARKAN PARADIGMA KONSTRUKTIVISME DAN POSITIVISME


Oleh: Achmad Nosi Utama

PENDAHULUAN

Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengatur bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum. Sebagai hukum tertinggi dalam tata urutan perundang-undangan di Indonesia, berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan, maka sudah seharusnya segala peraturan hukum di Negara Indonesia tidak boleh bertentangan dengan hal-hal yang di atur dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Atas dasar, telah ditentukannya bahwa Negara Indonesia merupakan negara hukum, akan membawa konsekuensi bagi kehidupan yang ada di Negara Indonesia.

Konsekuensi ini berkaitan dengan pengertian dari kata “hukum”, dikaitkan dengan  dengan banyaknya suku, agama, kepercayan, dan lain sebagainya yang ada di Negara Indonesia, yang dimana para penganutnya memiliki hukum tersendiri atas kelompok masyarakatnya. Maka, arti Negara Indonesia adalah negara hukum, akan sangat luas maknanya jika memaknai arti “hukum” dalam situasi keberagaman masyarakat yang ada di Negara Indonesia. 

Dalam ilmu filsafat, terdapat ilmu yang dinamakan dengan filsafat hukum. Dimana objek studi dari ilmu filsafat tersebut adalah hukum. Pengertian filsafat adalah suatu pendasaran diri dan perenungan diri secara radikal. Ia merefleksi terutama tentang segala hal yang ada, tentang “hal ada” dalam keumumannya. Filsafat dimulai dengan mempertanyakan segala hal “Mengapa semuanya itu sebagaimana adanya dan tidak lain ?”. Jadi filsafat adalah merefleksikan, suatu kegiatan berfikir dan juga sifat rasional.[1]
 
Kemudian, Filsafat hukum itu ingin mendalami “hakikat” dari hukum, dan itu berarti bahwa ia ingin memahami hukum sebagai penampilan atau manifestasi dari suatu asas yang melandasinya.[2] Jadi, secara sederhana dapat dipahami bahwa filsafat hukum artinya adalah ilmu yang bertujuan untuk mencari hakikat hukum. Dalam memaknai arti kata “hukum” dalam situasi keberagaman masyarakat di Negara Indonesia, akan ditemukan banyak penafsiran yang berbeda antar masyarakat satu dan lainnya. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Van Apeldorn, yang menyatakan bahwa :

“Dalam masyarakat akan ditemukan kelompok orang, yaitu mereka yang disebut “ontwikkelde leek” dan “the man on the street”. Ontwikkelde leek adalah mereka yang percaya bahwa hukum hanya ada dalam Undang-undang, sedangkan The man on the street melihat hukum mewujud dalam diri polisi, hakim, pengacara, dan lain-lain”.[3]

Menurut Dr. Anthony F. Susanto, S.H., M.Hum. Pernyataan dari Van Apeldorn tersebut bersangkut paut dengan problem presepsi. Mungkin saja, satu komunitas akan melihat bahwa apa yang dipahaminya lebih benar dari apa yang dipahami orang lain. Misalnya, Ontwikkelde leek akan memandang bahwa hukum hanyalah sekumpulan aturan yang disahkan oleh pejabat tertentu yang dilaksanakan melalui aparatnya. sedangkan bagi The man on the street memandang bahwa hukum bukanlah yang sebagaimana dijelaskan oleh Ontwikkelde leek.[4] Kemudian seorang pakar kriminologi dan viktimologi dari Fakultas Hukum Undip, Semarang, bernama I.S. Susanto menyatakan bahwa “makna hukum akan sangat ditentukan oleh presepsi orang mengenai apa yang disebut hukum itu”.[5]  

Berdasar pada beberapa pendapat sarjana di atas. Maka menurut hemat saya, makna dari kata “hukum” dalam pernyataan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum, adalah makna yang sangat mendalam, yang artinya bahwa makna dari kata “hukum” tersebut tidak dapat dimaknai secara tunggal dan dipaksakan kepada setiap orang untuk memaknai bahwa makna “hukum” adalah satu makna. Artinya, hukum itu sangat relatif, tergantung bagaimana setiap orang memaknainya, berdasar pada keadaan yang telah terkonstruksi di dalam diri orang tersebut. Sehingga, dalam keadaan multipenafsiran tentang makna dari “hukum”, yang beragam. Melalui kajian paradigmatik dalam ilmu filsafat hukum, akan dapat dijelaskan tentang bagaimanakah hakikat dari hukum.

Dengan kajian paradigmatik, penulis akan membahas mengenai penyelesaian suatu kasus yang terjadi di Negara Indonesia, bila dikaji menggunakan salah satu paradigma utama yang dicetuskan oleh Guba dan Lincoln, yaitu paradigma konstruktivisme dengan dibandingkan dengan paradigma utama lainnya, yaitu paradigma positivisme. Dengan dasar bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum, dengan segala keberagaman yang ada di Negara Indonesia yang berimplikasi terhadap multipenafsiran tentang makna sesungguhnya dari “hukum”, serta perkembangan jaman yang terus berlangsung.

RUMUSAN MASALAH

1.    Apakah yang dimaksud paradigma konstruktivisme ?

2.  Bagaimanakah cara penyelesaian suatu kasus hukum dengan menggunakan paradigma konstruktivisme jika dibandingkan dengan paradigma positivisme ?

PEMBAHASAN

1. PARADIGMA KONSTRUKTIVISME

Dalam memahami tentang apakah yang dimaksud dengan paradigma konstruktivisme dan bagaimana cara berfikir dan bertindak dari penganut paradigma tersebut, harus terlebih dahulu mengetahui tentang apa yang dimaksud dengan paradigma. Jika diurutkan secara hierarki, maka akan diketahui mengenai letak dari paradigma, jika dibandingkan dengan konsep, teori ataupun aliran. Di dalam hierarki tersebut, diurutan terbawah adalah “konsep”.  Konsep ini terdapat berbagai blok-blok konsep yang kemudian bergabung menjadi satu, sehingga muncul yang dinamakan “teori”. Kemudian berbagai macam teori tersebut, dikelompokkan masing-masing sesuai cirinya, menjadi yang dinamakan “aliran”. Selanjutnya, setiap aliran akan dilihat cirinya sehingga dapat dikategorikan sebagai suatu aliran yang dipandu oleh paradigma tertentu[6]. Contohnya, aliran Legal Constructivisme yang merupakan aliran yang masuk dalam paradigma konstruktivisme. Dari pemaparan tersebut, dapat dipahami bahwa letak dari “paradigma”, ada di paling atas dalam hierarki bila dibandingkan dengan konsep, teori,dan aliran. 

Untuk memperluas pemahaman dalam memahami pengertian paradigma, ada beberapa pendapat sarjana yang memberi pengertian tentang apa yang dimaksud dengan paradigma. Dalam pengertian sederhana, Menurut Kuhn (tahun 1962), paradigma adalah model, percontohan, representatif, tipikal, karakteristik atau ilustrasi dari solusi permasalahan atau pencapaian dalam suatu bidang ilmu pengetahuan.[7]  

Kemudian menurut Denzin dan Lincoln (tahun 1994), paradigma dipahami sebagai suatu sistem filosofis utama, induk, atau ‘payung’ yang meliputi ontologi, epistemologi, dan metodologi tertentu yang tidak dapat begitu saja dipertukarkan (dengan ontologi, epistemologi, dan metodologi dari paradigma lainnya). Paradigma merepresentasikan suatu belief dasar tertentu yang menyodorkan cara bagaimana dunia dilihat, dipahami, dimengerti dan dipelajari; dengan kata lain penganut/pemakainya pada world view tertentu.[8]
 
Di dalam Filsafat Hukum dikenal 4 (empat) paradigma utama, yaitu positivisme, postpositivisme, critical theori et al, dan konstruktivisme. Dalam makalah ini, akan membahas mengenai penyelesaian kasus hukum, dengan menggunakan paradigma konstruktivisme dan dibandingkan dengan menggunakan paradigma positivisme. 

Paradigma konstruktivisme ialah paradigma dimana kebenaran suatu realitas sosial dilihat sebagai hasil konstruksi sosial, dan kebenaran suatu realitas sosial bersifat relatif. Paradigma konstruktivisme ini berada dalam perspektif interpretivisme (penafsiran) yang terbagi dalam tiga jenis, yaitu interaksi simbolik, fenomenologis dan hermeneutik. Paradigma konstruktivisme merupakan kritik terhadap paradigma positivis. Menurut paradigma konstruktivisme realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua orang, seperti yang biasa dilakukan oleh penganut paradigma positivisme. Konsep mengenai konstruksionis diperkenalkan oleh sosiolog interpretative, Peter L.Berger bersama Thomas Luckman[9]

Ide mengenai konstruktivisme telah muncul sejak abad ke-5 sebelum masehi baik di Timur, oleh Budha Gautama (560–477 SM), maupun di Barat oleh Heraklitus (535-474 SM). Sejak itu, pandangan konstruktivisme tidak banyak berkembang hingga dituliskan ulang oleh Giambattista Vico (1668–1774) pada abad ke-17. Immanuel Kant (1724-1804) dipandang banyak ahli sebagai peletak ide utama mengenai konstruktivisme. Kant dalam Critique of Pure Reason menjelaskan pikiran (mind) sebagai organisme yang tidak henti-hentinya mentransformasikan ketidakaturan (chaos) menjadi keteraturan (order). Kant membedakan proses penyerapan informasi oleh indera (sensasi) dengan pemaknaan personal informasi tersebut oleh individu (persepsi). Karenanya, berbagai informasi yang diperoleh individu dari luar bisa saja ditangkap oleh indera yang sama, namun diorganisir dan dimaknai berbeda-beda oleh tiap individu, tergantung pengetahuan dan pengalaman sebelumnya.

Dalam paradigma konstruktivisme, terdapat ontologi, epistemologi, dan metodologi. Ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat. Artinya di dalam ontologi, akan terdapat ciri-ciri bagaimana penganut suatu paradigma, berfikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Epistemologi adalah mempelajari tentang subyek yang dipandu paradigma tertentu. Metodologi adalah bagaimana cara dari subyek yang dipandu paradigma tertentu memahamkan “ontologi”nya.

Dalam paradigma konstruktivisme, cara berfikir dan bertindak dari orang yang dipandu oleh paradigma ini, akan memiliki ciri-ciri sesuai dengan ontologi dalam paradigma ini. Ontologi dalam paradigma konstruktivisme memiliki basic belief “Relativisme”. Relativisme ini artinya adalah orang yang dipandu oleh paradigma konstruktivisme akan melihat bahwa segala sesuatu itu majemuk, tidaklah tunggal. Sehingga, orang ini akan memandang bahwa segala sesuatu bebas diinterpretasikan oleh siapapun.

Kemudian dalam ontologi paradigma konstruktivisme, terdapat world view. World view artinya adalah cara pandang penganut suatu paradigma, dalam melihat dunia. Di dalam ontologi paradigma konstruktivisme, terdapat world view :

1) Realitas majemuk dan beragam, berdasarkan pengalaman sosial individual, lokal, dan spesifik. Artinya adalah para penganut paradigma konstruktivisme akan memandang, bahwa hukum itu tidak tunggal, melainkan majemuk. Kemajemukan itu didasarkan pada pengalaman sosial individual,lokal, dan spesifik seseorang. Sehingga, setiap orang dapat menginterpretasikan mengenai ‘bagaimanakah’ hukum, sesuai dengan subjektifitasnya.

2) Merupakan ‘konstruksi’ mental/intelektualitas manusia. Artinya adalah, bahwa hukum yang diyakini oleh penganut paradigma konstruktivisme, adalah berdasarkan pada hal hal yang terkonstruksi di dalam dirinya, sehingga munculah pemahaman dalam dirinya, tentang ‘bagaimana’ hukum yang sesungguhnya.

3) Bentuk dan isi berpulang pada penganut/pemegang dapat berubah menjadi informed dan atau sophisticated ; humanis. Artinya adalah, informasi yang didapat oleh penganut/pemegang paradigma ini, kemudian akan dicanggihkan (dipelajari dan dipahamkan) dalam dirinya, sehingga munculah pemahaman tentang hukum yang sesungguhnya.

Penganut paradigma konstruktivisme, akan mendekatkan presepsi. Bukan menyatukan presepsi. Dikarenakan, beragam presepsi tentang segala hal, menurut setiap orang belum tentu sama. Bagi penganut paradigma konstruktivisme, semesta merupakan suatu konstruksi, artinya bahwa semesta bukan dimengerti sebagai semesta yang otonom, akan tetapi dikonstruksi secara sosial (Ardianto, 2009).

2. PERBANDINGAN PENYELESAIAN KASUS HUKUM DENGAN MENGGUNAKAN PARADIGMA KONSTRUKTIVISME DENGAN PARADIGMA POSITIVISME

Dalam 4 (empat) paradigma utama yang sudah penulis jelaskan diatas, yaitu paradigma positivisme, postpositivisme, critical theory et al, dan konstruktivisme. Ketika penganut dari masing-masing paradigma tersebut, menangani suatu kasus hukum, maka akan berbeda antara satu penganut paradigma, dengan penganut paradigma lainnya. Hal tersebut dikarenakan perbedaan ontologi, epistemologi, dan metodologi, antara satu paradigma dengan paradigma lainnya. Di dalam makalah ini, akan dijelaskan mengenai suatu kasus hukum, yang terjadi di tahun 2014, jika ditinjau dengan paradigma konstruktuvisme dengan dibandingkan dengan paradigma positivisme. 

Kasus ini dikutip dari situs : http://merdeka.com, yang diposting pada 31 Desember 2014. Berikut kasus posisinya:

Polisi Militer TNI Angkatan Udara menangkap pencuri kabel listrik milik Angkasa Pura di Sukadamai Talang Betutu Palembang. Keempat tersangka pelaku yang diamankan tersebut berinisial J, S, DJ, dan AN tercatat sebagai warga Kota Palembang.

"Empat tersangka pelaku pencurian kabel kami tangkap pada Selasa (30/12)," kata Komandan Satuan Polisi Militer (POM) TNI AU Kapten POM Andi Muhtar saat menggelar tersangka dan barang bukti di Palembang, seperti dilansir Antara, Rabu (31/12).

Andi Muhtar memaparkan, penangkapan keempat tersangka ini berawal dari laporan warga Talang Betutu, Abidian kepada Angkasa Pura pada Selasa pagi perihal kabel listrik yang jatuh menimpa rumah warga.

"Laporan tersebut kemudian dicek pihak Angkasa Pura ke lokasi, dan teknisi listrik menemukan para pelaku tengah beraksi memotong kabel," ungkap dia.

Teknisi listrik Angkasa pura yang bernama Rusli kemudian bersama Polisi Militer TNI AU Talang Betutu Palembang meringkus keempat tersangka dan membawanya ke kantor di Kompleks TNI AU.

Para tersangka yang berumur antara 20-25 tahun ini dikoordinir oleh J yang merupakan suruhan seseorang bernama 'Kuyung' (panggilan kakak dalam bahasa daerah Sekayu Musi Banyuasin).

Sementara, tersangka J mengaku Kuyung membekali mereka dengan surat tugas sebagai petugas PLN untuk memudahkan pekerjaan mereka.

"Waktu Polisi Militer TNI AU mengecek surat tugas kami, mereka nyatakan itu palsu," ungkap warga Sako Kenten ini.

Cara memotong dan celah melakukan aksi kejahatan mereka pun dibimbing oleh Kuyung.
"Dia bilang kabelnya sudah putus tinggal kami potong aja," katanya menirukan pernyataan Kuyung.

Usai ditahan selama sehari oleh Polisi Militer TNI AU , keempat tersangka kemudian diserahkan ke Polsekta setempat untuk penyidikan dan proses hukum lebih lanjut.

Analisisnya:

Ketika melihat kasus diatas, dalam hukum yang berlaku di Indonesia, dapat dinyatakan bahwa kasus di atas merupakan tindak pidana. Hukum pidana di Indonesia, berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jika kasus diatas dianalisis dengan menggunakan dengan paradigma positivisme, maka jelas bahwa kasus tersebut akan diselesaikan dengan peraturan tertulis, yang dalam hal ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana, kasus diatas dapat dikenakan pasal 362 , tentang pencurian. Dengan bunyi pasal, sebagai berikut :

“Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah”

Ketika kasus tersebut diselesaikan dengan panduan paradigma positivisme, maka jika terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa pelaku, dinyatakan bersalah dan harus bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukan, maka akan secara langsung akan diterapkan pasal 362 KUHP, terhadap pelaku tindak pidana.  Karena basic belief dari paradigma positivisme adalah “realisme naif” yang artinya adalah menerapkan hukum apa adanya, tidak peduli akan alasan apapun yang dimiliki oleh pelaku. Dengan salah satu world viewnya adalah objektif. Artinya adalah hukum akan diterepkan kepada setiap orang, tanpa peduli alasan apa yang melatarbelakangi orang tersebut melakukan suatu perbuatan.   

Salah satu tokoh yang menganut paradigma positivisme adalah Hans Kelsen. Oleh banyak orang, Hans Kelsen kerap disebut sebut sebagai salah satu eksponen dari positivisme hukum.[10] Dalam bidang hukum, Hans Kelsen terkenal dengan teorinya yaitu teori hukum murni, yaitu hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir non hukum. Dalam teori ini, Hans Kelsen berusaha menawarkan sebuah jalan yang lain kepada ilmu hukum, bagaimana ilmu ini harus benar benar dipisahkan dari nilai-nilai intuitif yang justru mau dicarinya di rute-rute yang biasa dilaluinya.[11] Artinya, bahwa hukum itu harus yang diterapkan terhadap suatu kasus haruslah murni sesuai dengan peraturan yang ada, secara apa adanya. 

Kelsen menyatakan bahwa kaidah kaidah hukum harus dipisahkan (diisolir) secara setajam mungkin dari potensi potensi yang membuatnya tidak murni (tidak ilmiah). Bagaimanapun, kaidah hukum itu disingularisasi (dimurnikan, dibersihkan) oleh Teori Hukum dari involvasi elemen-elemen yang berkarakter di luar dirinya, ketika itu pula kaidah-kaidah itu telah terdeskripsikan secara ilmiah (objektif).[12] Sehingga, yang dalam kasus diatas adalah tepat jika diterapkan pasal 362 KUHP terhadap pelaku.

Berbeda dengan penyelesaian kasus hukum dengan menggunakan paradigma positivisme. Para penganut paradigma konstruktivisme, akan lebih luas memandang cara penyelesaian hukum, yang tidak terbatas dengan diterapkannya suatu Undang undang (contohnya KUHP) secara apa adanya, seperti yang dilakukan oleh penganut paradigma positivisme. 

Jika, kasus diatas diselesaikan dengan menggunakan paradigma konstruktivisme maka analisisnya adalah sebagai berikut: 

Dalam paradigma kontruktivisme, penganutnya akan memandang bahwa, tidak harus dengan diterapkan pasal 362 KUHP semata-mata untuk menyelesaikan kasus tersebut. Melainkan dapat dengan menggunakan alternatif penyelesaian hukum yang lain. Seperti penyelesaian dengan cara musyawarah antara korban dan pelaku atau yang mewakili keduanya. Karena, dalam paradigma konstruktivisme, penganutnya memandang bahwa hukum itu tidak tunggal (yang dalam paradigma positivisme, dinilai bahwa hukum untuk menyelesaikan kasus diatas, adalah dengan KUHP), melainkan majemuk (seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan pertama makalah ini ). 

Menurut hemat saya, hukum pada intinya adalah upaya untuk memperoleh suatu keadilan. Keadilan berdasarkan konstruktivisme berati adalah realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua orang yang biasa dilakukan oleh orang yang dipandu paradigma positivisme. Paradigma konstruktivisme yang ditelusuri dari pemikiran Weber, menilai perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan perilaku alam, karena manusia bertindak sebagai agen yang mengkonstruksi dalam realitas sosial mereka, baik itu melalui pemberian makna ataupun pemahaman perilaku dikalangan mereka sendiri.[13]

Dalam menyelesaikan suatu kasus hukum, penganut paradigma akan mengutamakan musyawarah. Hal ini sesuai dengan world viewnya yaitu “humanis” yang artinya penganut paradigma konstruktivisme akan mendekatkan presepsi beberapa manusia, dalam dialektikal untuk memahami kepentingan yang ada. Sehingga, jika kasus ini diselesaikan dengan menggunakan paradigma konstruksivisme, maka pihak korban dan pihak pelaku akan melakukan musyawarah, sehingga dapat ditentukan cara penyelesaian terbaik dari kasus tersebut. Sebagi contoh,  penerapan kerja sosial kepada pelaku sebagai sanksi atas perbuatannya. Sanksi ini dimungkinkan, dalam kasus tersebut. Sehingga dengan sanksi ini, akan memberikan pembelajaran bagi tidak hanya kepada pelaku, tetapi juga kepada masyarakat. Dengan demikian perwujudan kesejahteraan masyarakat dapat dicapai sejalan dengan kemanfaatan hukum itu sendiri. Namun, apabila korban berpendapat bahwa penyelesaian terbaik adalah dengan cara diterapkan pasal 362 KUHP, itu tidak disalahkan. Karena bagi korban, itulah cara terbaik yang benar.    

Kemudian, jika hakim yang berparadigma konstruktivisme, akan memutus kasus tersebut dengan unsur subjektivitas hakim sangat tinggi. Hakim tidak hanya akan mendasarkan kasus tersebut pada hukum normatif (KUHP) saja, tapi berusaha menggali nilai-nilai yang ada di masyarakat untuk dijadikan pertimbangan dalam memutus perkara tersebut. Kemudian, dikarenakan ciri dari penganut paradigma kontruktivisme adalah mengutamakan musyawarah/dialek. Maka hakim akan memberi pertimbangan yang lebih meringankan bagi pelaku, jikalau telah melakukan musyawarah dengan pihak korban dan antara pihak korban dan pihak pelaku sudah berdamai. 

Berbeda dengan hakim yang berparadigma positivisme. Hakim yang berparadigma positivisme akan menerapkan hukuman seperti apa yang ada di dalam Undang undang (KUHP), dikarenakan ciri dari paradigma positivisme yaitu dalam basic belief dalam ontologinya , yaitu realisme naif. Yang artinya adalah, menerapkan peraturan apa adanya. Di dalam paradigma positivisme, Hart menyatakan bahwa,  Hukum diartikan sebagai :
  1. Hukum adalah perintah
  2. Analisis terhadap konsep-konsep hukum berbeda dengan studi sosiologis, historis, dan  penilaian kritis.
  3. Keputusan-keputusan dideduksi secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dahulu, tanpa perlu merujuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijaksanaan, dan moralitas.
  4. Penghukuman secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian
  5. Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan.[14]
Dari penjelasan yang sudah penulis jelaskan, maka akan dapat dipahami bahwa dalam penyelesaian suatu kasus hukum, terdapat perbedaan yang sangat jelas, antara paradigma konstruktivisme dan paradigma positivisme. Secara sederhana, dapat disimpulkan bahwa, paradigma konstruktivisme, jauh lebih banyak alternatif dalam menyelesaikan kasus hukum (tidak hanya terbatas pada peraturan tertulis), jika dibandingkan dengan paradigma positivisme, yang hanya mendasarkan penyelesaian hukum melalui peraturan tertulis saja.

KESIMPULAN

Ketika memahami pasal 3 ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia  adalah negara hukum. Maka konsekuensi yang terjadi adalah, banyaknya interpretasi tentang apa yang dimaknai sebagai “hukum”. Menurut hemat saya, tidaklah mudah bahkan tidak mungkin, jika menyamakan presepsi bagi setiap orang untuk menyatakan secara bersama bahwa hukum itu hanya satu macam. Hal ini tidak terlepas dari sejarah panjang Negara Indonesia, sehingga munculah berbagai presepsi masyarakat tentang bagaimanakah hukum yang sebenarnya.  

Banyaknya suku, agama, kepercayan, dan lain sebagainya yang ada di Negara Indonesia, yang dimana para penganutnya memiliki hukum tersendiri atas kelompok masyarakatnya akan meyakini bahwa, hukum adalah apa yang mereka yakini sebagai hukum.

Hal kemajemukan dalam memahami hukum, dapat dipelajari melalui kajian paradigmatik dalam Filsafat Hukum. Dimana dalam paradigma di Filsafat Hukum, dalam memahami hukum, tidaklah dapat dipaksakan kepada setiap orang untuk mengakui bahwa hakikat hukum itu hanyalah tunggal.  Karena, setiap manusia memiliki latar belakang kehidupan yang belum tentu sama, antar satu dan lainnya. Sehingga, masing-masing orang dapat meyakini tentang hakikat hukum menurut pribadinya masing-masing. Seperti contohnya, paradigma positivisme dan paradigma konstruktivisme. Kedua paradigma ini, memiliki ciri yang berbeda dalam memaknai tentang bagaimanakah hukum yang sebenarnya (hakikat hukum). 

Pada paradigma postivistime, untuk mencapai tujuan dari hukum, adalah dengan menerapkan kepastian hukum semata. Kepastian hukum yang dimaksud adalah kepastian hukum sesuai dengan perundang-undangan (tertulis) yang berlaku di suatu negara. Sedangkan paradigma konstruktivisme, akan memandang bahwa hukum tidak semata mata hanya peraturan perundang-undangan (tertulis) saja.

SARAN

Dalam penegakan hukum terhadap pelaku pelanggaran hukum. Hendaknya, para penegak hukum dapat melihat secara keseluruhan fakta tentang kejadian yang terjadi dan menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat, untuk pertimbangan dalam membuat suatu keputusan untuk penyelesaian kasus tersebut, sehingga keadilan dapat tercapai. 

DAFTAR PUSTAKA


·         Meuwissen, M, 2007, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum,  Terjemahan : B. Arief Sidharta,  Bandung : PT. Refita Aditama.

·         Susanto, Anthon F, 2007, Hukum Dari Consilience Menuju Paradigma Hukum Konstruktif-Transgresif, Bandung : PT. Refika Aditama. 

·         Ardianto, Elvinaro dan Q-Anees, Bambang. 2009. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.


·         Eryanto, 2004, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Isi Media. Yogyakarta : LKIS


·         Bakir, herman, 2005,  Kastil Teori Hukum , Jakarta : PT Indeks Kelompok Gramedia.


·        Raharjo, Satjipto II, 1985 Buku Materi Pokok Pengantar Ilmu Hukum Bagian IV, Jakarta: Karunika.


·         Hand Out FILSAFAT HUKUM “LEBIH JAUH TENTANG PARADIGMA” oleh Prof. Erlyn Indarti


·         Kitab Undang Undang Hukum Pidana, terjemahan prof. Moeljatni, S.H.


·         http://dontfeedthewolves.blogspot.com


·         http://umriwulan.blogspot.com


·         http://law-indonesia.blogspot.com


·         http://merdeka.com






[1] Buku “Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum” diterjemahkan oleh Prof. Dr. B. Arief Sidharta, S.H. (PT. Refita Aditama : Bandung ) Halaman 65.
[2] Id. at 66.
[3] Buku “Hukum Dari Consilience Menuju Paradigma Hukum Konstruktif-Transgresif” karya Dr. Anthon F. Susanto, S.H., M.Hum. (PT. Refika Aditama : Bandung) Halaman 12.
[4] Ibid
[5] Id. At 23.
[6] Disampaikan dosen pengampu mata kuliah filsafat hukum, adalam kuliah filsafat hukum, di Universitas Diponegoro tahun 2014
[7] Hand Out FILSAFAT HUKUM “LEBIH JAUH TENTANG PARADIGMA” oleh Prof. Erlyn Indarti
[8] Ibid
[9] Eryanto, 2004, “Analisis Wacana, Pengantar Analisis Isi Media”. Yogyakarta : LKIS. halaman 13.
[10] Bakir, herman, 2005,  “Kastil Teori Hukum” , Jakarta : PT Indeks Kelompok Gramedia.
[11] Id. At 109
[12] Id. At 120
[13] Tasrij,S.1986.Bunga Rampai Filsafat hukum:Abardin dalam website http://umriwulan.blogspot.com
[14] Satjipto Raharjo II, Buku Materi Pokok Pengantar Ilmu Hukum Bagian IV, Karunika, Jakarta, 1985, halaman 11

3 komentar:

  1. Terima kasih sudah berbagi ilmu melalui makalah ini.

    BalasHapus
  2. KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
    BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.

    Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....

    BalasHapus