Penyadapan diperbolehkan oleh hukum di Indonesia?. Iya benar, penyadapan memang diperbolehkan oleh hukum di Indonesia. Namun, penyadapan yang seperti apa yang diperbolehkan?. Hal itu akan dijawab melalui penjabaran dalam tulisan ini.
Seperti yang tertulis dalam judul di atas, maka disini saya akan menjabarkan mengenai tindakan penyadapan yang seperti apa yang diperbolehkan oleh hukum di Indonesia. Artinya penyadapan yang tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.
Seperti yang tertulis dalam judul di atas, maka disini saya akan menjabarkan mengenai tindakan penyadapan yang seperti apa yang diperbolehkan oleh hukum di Indonesia. Artinya penyadapan yang tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.
A. PENGERTIAN PENYADAPAN
- Menurut Penjelasan Pasal 31 ayat (1) dalam bab “Pasal demi Pasal” dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang dimaksud dengan penyadapan atau intersepsi yaitu kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektomagnetis atau radio frekuensi.
- Menurut Pasal 1 Angka 19 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,yang dimaksud dengan penyadapan yaitu kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan atau penyidikan dengan cara menyadap pembicaraan, pesan, informasi, dan/atau jaringan komunikasi yang dilakukan melalui telepon dan/atau alat komunikasi elektronik lainnya.
- Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan penyadapan yaitu proses, cara, atau perbuatan menyadap. Selanjutnya, dijelaskan bahwa yang dimaksud menyadap yaitu mendengarkan (merekam) informasi (rahasia, pembicaraan) orang lain dengan sengaja tanpa sepengetahuan orangnya.
B. PENYADAPAN
YANG DIPERBOLEHKAN OLEH HUKUM (TIDAK BERTENTANGAN DENGAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN) INDONESIA
Pada dasarnya, perbuatan penyadapan
merupakan perbuatan yang melanggar privasi sehingga merupakan perbuatan yang
melanggar Hak Asasi Manusia. Terdapat beberapa Peraturan Perundang-undangan di
Indonesia yang mengatur bahwa penyadapan merupakan suatu perbuatan yang dilarang,
yaitu perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana atau disebut dengan tindak
pidana. Hal tersebut terdapat dalam Pasal
40 jo Pasal 56 Undang-undang Nomor 36
Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi, serta Pasal 31 ayat
(1) dan ayat (2) jo Pasal 47
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Pembahasan kali ini, tidak akan saya fokuskan pada
pembahasan mengenai perbuatan penyadapan yang dilarang oleh hukum. Namun, saya
akan fokuskan pada perbuatan penyadapan yang diperbolehkan oleh hukum. Sehingga,
mohon maaf karena saya tidak menjabarkan lebih jauh mengenai Pasal 40 jo Pasal 56 Undang-undang Nomor 36 Tahun
1999 Tentang Telekomunikasi, serta Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) jo Pasal 47 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik.
Baik,
selanjutnya akan saya jelaskan mengenai penyadapan yang diperbolehkan oleh
hukum (tidak bertentangan dengan Peraturan
Perundang-undangan). Pembahasan ini saya jabarkan dengan cara singkat, namun
substansial. Sehingga, kawan-kawan tidak disuguhkan tulisan yang panjang dan
berbelit, agar mudah untuk dibaca dan dipahami oleh semua kalangan.
Penyadapan atau intersepsi yang diperbolehkan oleh
hukum adalah penyadapan yang DILAKUKAN
DALAM RANGKA PENEGAKAN HUKUM ATAS PERMINTAAN KEPOLISIAN, KEJAKSAAN, DAN/ATAU
INSTITUSI PENEGAK HUKUM LAINNYA. Hal tersebut sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 31 ayat (3) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, yaitu:
Pasal 31 ayat (3)
Kecuali
intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang
dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan,
dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan
undang-undang.
Selanjutnya, diatur dalam Pasal 31 ayat (4)
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 bahwa tata cara intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum
atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya
tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah. Lebih jelasnya adalah sebagai
berikut:
Pasal 31 ayat (4)
Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Namun,
tidak lama setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008, pengaturan mengenai tata cara
intersepsi sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) tersebut, telah dibatalkan
oleh Mahakamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
5/PUU-VIII/2010.
Tata cara penyadapan yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah sebagaimana amanat dari Pasal 31 ayat (4) Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2008, dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dikarenakan Mahkamah
berpendapat bahwa penyadapan merupakan bentuk
pelanggaran right of privacy sebagai bagian dari Hak Asasi
Manusia yang dapat dibatasi. Namun, pembatasan atas hak privasi ini hanya dapat
dilakukan dengan Undang-undang sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28 J ayat
(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 28 J ayat (2) Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur hal sebagaimana berikut
ini:
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap
orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
Undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Untuk memperkuat argumentasinya, Mahkamah
mengutip pertimbangan putusan MK No 006/PUU-I/2003 tertanggal 30 Maret 2004,
yaitu “Untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan wewenang penyadapan dan
perekaman perlu ditetapkan perangkat aturan soal tata cara penyadapan dan
perekaman…”. Kemudian dipertegas dalam putusan MK No 012-016-019/PUU-IV/2006
yang menyatakan pembatasan Hak Asasi Manusia melalui penyadapan harus diatur
dengan undang-undang guna menghindari penyalahgunaan wewenang yang melanggar
Hak Asasi Manusia.[1]
Atas dasar itulah, sebagai implementasi dari Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-VIII/2010, regulasi penyadapan berupa
Undang-undang yang dapat diberlakukan di
Indonesia yaitu sebagai berikut:
- Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;
- Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi;
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
- Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang.
Beberapa Undang-undang yang
disebutkan diatas, mengatur bahwa tindakan intersepsi atau penyadapan merupakan
tindak pidana. Namun, beberapa Undang-undang itu juga mengatur bahwa terdapat
intersepsi atau penyadapan yang diperbolehkan oleh hukum (bukan merupakan
tindakan yang melawan hukum atau tindak pidana). Dari beberapa peraturan
perundang-undangan yang disebutkan di atas, terdapat beberapa Peraturan
Perundang-undangan yang mengatur mengenai diperbolehkannya melakukan
penyadapan. Lebih jelasnya adalah sebagai berikut:
1.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi
Selain mengatur bahwa tindakan
penyadapan merupakan suatu tindak pidana, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999
juga mengatur tindakan penyadapan yang diperbolehkan (bukan merupakan suatu tindak
pidana). Tindakan penyadapan yang diperbolehkan berdasarkan Undang-Undang Nomor
36 Tahun 1999 adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor
36 Tahun 1999, yaitu:
Pasal 41
Dalam rangka
pembuktian kebenaran pemakaian fasilitas telekomunikasi atas permintaan
pengguna jasa telekomunikasi, penyelenggara jasa telekomunikasi wajib melakukan
perekaman pemakaian fasilitas telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna jasa
telekomunikasi dan dapat melakukan perekaman informasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan Pasal 41 tersebut, dapat diketahui bahwa
terdapat badan yang berhak dan wajib dalam melakukan perekaman informasi yaitu
badan penyelenggara jasa telekomunikasi.
2.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 mengatur intersepsi atau
penyadapan yang diperbolehkan (bukan merupakan suatu tindak pidana). Tindakan
Intersepsi atau penyadapan yang diperbolehkan berdasarkan Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a jo Pasal 6 huruf c. Berdasarkan aturan-aturan
tersebut, maka diperbolehkan diperbolehkan melakukan penyadapan dengan
persyaratan-persyaratan, yaitu:
- Dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi; dan
- Dilakukan dalam rangka penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan Tindak Pidana Korupsi.
3.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun
2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-undang, memperbolehkan penyadapan dengan ketentuan yang diatur dalam beberapa pasal di Undang-undang tersebut,
yaitu Pasal 31 ayat (1) huruf b, Pasal 31 ayat (2), Pasal 31 ayat (3), Pasal 26
ayat (1), Pasal 26 ayat (2), dan Pasal 26 ayat (4).
Berdasarkan aturan-aturan tersebut, maka diperbolehkan
melakukan penyadapan dengan persyaratan-persyaratan, yaitu:
- Dilakukan oleh penyidik;
- Dilakukan apabila terdapat bukti permulaan yang cukup;
- Harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri untuk menetapkan bahwa telah diperoleh bukti permulaan yang cukup;
- Penyadapan hanya dapat dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri dalam jangka waktu tertentu, yaitu paling lama 1 (satu) tahun; dan
- Tindakan penyadapan yang dilakukan harus dipertanggungjawabkan dan dilaporkan pada penyidik atasan.
4.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik
Tindakan Intersepsi atau penyadapan yang diperbolehkan
berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 adalah sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 31 ayat (3). Berdasarkan aturan-aturan tersebut, maka diperbolehkan
melakukan penyadapan dengan persyaratan-persyaratan, yaitu:
- Tindakan intersepsi dilakukan dalam rangka penegakan hukum; dan
- Dilakukan atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan Undang-undang.
5.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 mengatur intersepsi atau
penyadapan yang diperbolehkan (bukan merupakan suatu tindak pidana). Tindakan
Intersepsi atau penyadapan yang diperbolehkan berdasarkan Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2009, yaitu Pasal 75 huruf i, Pasal 77 ayat (1), Pasal 77 ayat (2), Pasal
78 ayat (1), dan Pasal 78 ayat (2).
Berdasarkan aturan-aturan yang terdapat dalam Pasal-pasal
tersebut, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, mengatur bahwa diperbolehkan melakukan
penyadapan dalam 2 (dua) keadaan, yaitu pertama,
dalam keadaan tidak mendesak dan kedua,
dalam keadaan mendesak. Dalam keadaan tidak mendesak, diperbolehkan melakukan
penyadapan dengan persyaratan-persyaratan, yaitu:
- Dilakukan dalam rangka penyidikan, dan dilakukan oleh penyidik BNN (Badan Narkotika Nasional);
- Penyadapan dilakukan tehadap hal yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
- Penyadapan dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup dan dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak surat penyadapan diterima penyidik; dan
- Penyadapan hanya dilaksanakan atas izin tertulis dari ketua pengadilan.
Selanjutnya, dalam keadaan mendesak diperbolehkan melakukan
penyadapan dengan persyaratan-persyaratan, yaitu:
- Dalam keadaan mendesak dan Penyidik harus melakukan penyadapan, penyadapan dapat dilakukan tanpa izin tertulis dari ketua pengadilan negeri lebih dahulu; dan
- Dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam Penyidik wajib meminta izin tertulis kepada ketua pengadilan negeri mengenai penyadapan tersebut.
Meskipun Undang-undang Nomor 35 Tahun
2009 telah mengatur tata cara penyadapan yang dilakukan dalam keadaan mendesak
sebagaimana yang telah dijelaskan. Namun, Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tidak
mengatur pengertian atau syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu keadaan
dapat dinyatakan sebagai keadaan mendesak sehingga penyidik harus melakukan
penyadapan.
Bertolak dari pembahasan yang telah
saya jelaskan di atas, saya secara pribadi memohon maaf kepada semuanya, karena
saya tidak menuliskan rumusan pada Pasal-pasal yang memperbolehkan tindakan
penyadapan. Namun, hanya saya tulis kesimpulan dan persyaratan yang harus
dipenuhi untuk melakukan penyadapan yang diperbolehkan, melalui kalimat “Berdasarkan aturan-aturan tersebut, maka diperbolehkan
melakukan penyadapan dengan persyaratan-persyaratan, yaitu:”.
Hal ini saya lakukan semata-mata agar kawan-kawan
dapat memahami dengan mudah, dan langsung mengerti serta memahaminya dengan
cepat, tanpa perlu membaca pasal-pasal yang memiliki kalimat yang panjang dan
banyak. Untuk mendapatkan Peraturan Perundang-undangan
yang mengatur tindakan penyadapan yang diperbolehkan, sebagaimana yang telah
saya jelaskan. Kawan-kawan bisa mendownload pada website: www.setneg.go.id
Demikianlah penjabaran saya mengenai perbuatan
penyadapan yang diperbolehkan. Bila ada kekurangan saya mohon maaf. Semoga bermanfaat
dan terima kasih.
PENULIS
Achmad Nosi Utama
[1] Dikutip dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4d666444e12c9/aturan-penyadapan-harus-undangundang, diakses pada 5 Januari 2016 pukul 20.00 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar