Salah satu tujuan nasional dari negara Indonesia
yang dimuat dalam alenia ke empat Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Salah satu upaya yang dilakukan
negara untuk mewujudkan tujuan nasional tersebut yaitu dengan menyelenggarakan
pendidikan bagi setiap warga negara. Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur bahwa setiap warga negara berhak
mendapatkan pendidikan.
Pasal 31 ayat (1)
Setiap warga negara berhak
mendapatkan pendidikan
Kemudian, dalam ayat (3) di pasal yang
sama, diatur bahwa:
Pasal
31 ayat (3)
Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan
dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
yang diatur dengan undang-undang.
Pentingnya pendidikan bagi warga negara
tentunya akan menimbulkan suatu konsekuensi bagi negara, yaitu negara harus
mampu menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas bagi warga negaranya. Hak
untuk memperoleh pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang dilindungi.
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mengatur sebagaimana
berikut:
Pasal
12
Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan
pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya dan meningkatkan kwalitas hidupnya
agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggungjawab, berakhlak mulia,
bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.
Pasal
42
Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan
atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan,
pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang
layak, sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri
dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Bertolak dari pembahasan mengenai
pendidikan sebagai hak asasi manusia, saat ini di Indonesia terdapat beberapa
instansi yang menyelenggarakan pendidikan. Baik instansi swasta maupun negeri.
Salah satu pendidikan yang diselenggarakan adalah pendidikan profesi, khususnya
pendidikan profesi advokat. Menurut Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat, pendidikan profesi bagi advokat disebut dengan pendidikan khusus
profesi Advokat. Pendidikan tersebut merupakan salah satu syarat bagi seseorang
untuk dapat diangkat sebagai advokat, di mana dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat mengatur:
Pasal
2 ayat (1)
Yang dapat diangkat sebagai
Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah
mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi
Advokat.
Mengenai pelaksana dari pendidikan
tersebut telah disebutkan di dalam Pasal 1 angka 4 undang-undang yang sama, yaitu
dilaksanakan oleh Organisasi Advokat. Organisasi Advokat yang dimaksud dalam undang-undang
tentang Advokat ini adalah sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1 angka 4,
yaitu:
Pasal
1 angka 4
Organisasi Advokat adalah organisasi
profesi yang didirikan berdasarkan undang-undang ini.
Meskipun Pasal 2 ayat (1) dalam
undang-undang tersebut mengatur bahwa yang melaksanakan pendidikan profesi
adalah Organisasi Advokat, namun aturan tersebut telah diganti atau telah dilengkapi
oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya. Mahkamah Konstitusi telah
melakukan pengujian Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan mengelurkan
putusan yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 95/PUU-XIV/2016.
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 95/PUU-XIV/2016 menyatakan bahwa Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
tidak dimaknai yang berhak
menyelenggarakan Pendidikan Khusus Profesi Advokat adalah organisasi advokat
dengan keharusan bekerja sama dengan perguruan tinggi yang fakultas hukumnya
minimal terakreditasi B atau sekolah tinggi hukum yang minimal terakreditasi B.
Sebagian dari pendapat yang diberikan Mahkamah
dalam putusan ini adalah bahwa organisasi advokat dalam
menyelenggarakan pendidikan khusus profesi Advokat atau PKPA tidak dapat
mengabaikan standar dan kaidah-kaidah yang berlaku di dunia pendidikan dengan
memberikan penekanan pada aspek keahlian dan keterampilan profesi. Oleh karena
itu, dalam pelaksanaan PKPA dimaksud harus terdapat standar mutu dan target
capaian tingkat keahlian/keterampilan tertentu dalam kurikulum PKPA. Dalam kaitan
inilah kerja sama dengan perguruan tinggi yang memiliki program studi ilmu
hukum atau sekolah tinggi hukum menjadi penting. Sebab berbicara pendidikan,
terminologi yang melekat dalam istilah PKPA tersebut, secara implisit
mengisyaratkan bahwa PKPA harus memenuhi kualifikasi pedagogi yang lazimnya
sebagaimana dituangkan dalam kurikulum.
Adapun pendapat Mahkamah Konstitusi
secara lengkap dapat dilihat pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
95/PUU-XIV/2016.
Berdasarkan apa yang telah dijelaskan
maka dapat disimpulkan, meskipun Organisasi Advokat dapat menyelenggarakan pendidikan
khusus profesi Advokat, namun setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 95/PUU-XIV/2016, Organisasi Advokat yang menyelenggarakan pendidikan khusus
profesi Advokat haruslah bekerja sama dengan perguruan tinggi yang fakultas
hukumnya minimal terakreditasi B atau sekolah tinggi hukum yang minimal terakreditasi
B.
* KUNJUNGI SITUS KAMI DI *
BalasHapusWWW.ID303.INFO
MENANG BERAPAPUN, PASTI KAMI BAYAR !!! *
* Melayani LiveChat 7 x 24 Jam Nonstop :
- WA : 08125522303
- BBM : CSID303
Live Chat S128 Sabung Ayam
Daftar Akun Sabung Ayam S128
Agen Bola
www.id303.vip/s128
Bagus artikelnya gan.. saya suka baca artikel bagus seperti ini agen sabung ayam online terpercaya
BalasHapus